
Buku ini mengangkat perdebatan seputar ayat-ayat Al-Qur’an yang sering dianggap mengkritik doktrin Trinitas Kristen, yaitu dalam surah al-Nisa’/4:171, al-Maidah/5:73 dan al-Maidah/5:116. Berdasarkan teori polemik kitab suci oleh Mun’im Sirry, penafsiran terhadap ayat-ayat tersebut sering kali didasarkan pada pemahaman yang kurang mendalam mengenai keyakinan sekte-sekte Kristen pada masa itu, salah satunya adalah sekte Collydrians. Namun, penulis menawarkan data yang lebih relevan terkait eksistensi sekte tersebut.
Perdebatan tersebut terus berkembang, menimbulkan penolakan dari para sarjana Kristen, baik terhadap ayat-ayat Al-Qur’an tentang Trinitas maupun sekte Collydrians tersebut. Salah satunya adalah Chawkat Moucarry yang menyatakan bahwa, “Al-Qur’an salah konsepsi terhadap Kristen tentang Trinitas.”
Oleh karena itu, dalam kajian ini, penulis mengonfirmasi sumber-sumber dari perspektif Islam dan Kristen, membuka ruang dialog antara dua agama tersebut untuk memahami tafsiran ayat-ayat tersebut secara lebih komprehensif, terutama pada sumber-sumber historis. Selamat membaca!
| Penulis | : Khoirul Fuad |
| Penerbit | : Yayasan Nuralwala Pusat Kajian Akhlak dan Tasawuf |
| Harga | : Rp. 65.000 |
| ISBN | : – |
| Berat | : 300 gram |
| Dimensi P-L-T | : 15,5 x 23,5 |
| Total Halaman | : 280 Halaman |
| Jenis Cover | : Soft Cover |





Ketika Allah memuji Nabi-Nya, Muhammad Saw., sebagai yang terbesar di antara makhluk-makhluk ciptaan-Nya, Allah menegaskan bahwa yang demikian itu disebabkan beliau tetap dipayungi oleh keilmuan yang benar; rahmat dan kasih sayang (QS An-Najm [53]: 3–4). Tentang kecintaan beliau kepada sesama, Allah tidak mengatakan bahwa beliau rahîm (penyayang), melainkan rahmatan (QS Al-Anbiyâ’ [21]: 107), yakni kasih sayang itu sendiri. Rahmat tersebut terekspresikan dalam bentuk akhlak mulia. Sedemikian, sehingga Allah memuji beliau dengan berfirman: “Sungguh kamu—wahai Rasul— benar-benar telah bersinggasana di atas puncak akhlak yang mulia.” Buku kecil tentang kebesaran Rasulullah Saw. ini disuguhkan dalam bentuk kisah-kisah kehidupan dan akhlak beliau, agar mudah dipahami oleh generasi muda kita.
Suatu ketika di masa Orde Baru, para aktivis bersembunyi di kamarnya dari kejaran militer. Mereka bisa mencari suaka di luar negeri berkat surat yang dia terbitkan. Dialah kepala desa Pabelan yang mengalahkan calon dari militer dan orang kaya di Jawa Tengah ketika tentara sangat kuat berpolitik. Seorang mahasiswa yang melakukan bunuh diri kelas dengan terjun ke pedalaman. Anak muda Aceh yang memimpin desa dan membangun pesantren sebelum bisa berbahasa Jawa dan belum begitu mengenal sistem pesantren yang unik. Dari sana kiprahnya meluas ke nasional dan internasional sembari terus terhubung dengan beragam figur dalam ranah sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Buku ini merupakan jendela ke dalam kehidupan dan perjalanan spiritual yang penuh gairah.
Benarkah karya-karya ‘ulûm al-Qur’ân pasca as-Suyuthi (849-911 H) adalah karya yang stagnan, repetitif, dan tidak ilmiah? Lantas bagaimana dengan karya-karya ‘ulûm al-Qur’ân pesantren di Indonesia yang masih mempertahankan tradisi syarah? Dalam buku ini, Zainal Abidin mengungkapkan konstruksi tradisi di balik karya-karya Syarah Manzhûmah at-Tafsîr az-Zamzami di Indonesia, sejak tahun 1930-an hingga tahun 2022. Penelusurannya membuktikan bahwa karya syarah tidaklah stagnan. Justru karya genre ini menjadi penghubung antara turats klasik terhadap era modern melalui gaya yang beragam dan relevan.
